Ekososialisme

Parasit dalam Pagebluk Covid-19: Ideologi Pertumbuhan Ekonomi Menghilangkan Kekebalan Tubuh Sosial

Tulisan berseri dengan tema “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme” – Bagian 2.
Jangan lupa baca juga Bagian 1: Dorongan Akumulasi telah Menghasilkan Kekayaan untuk Segelintir Orang, Wabah Penyakit bagi Banyak Orang

Ada parasit[1] yang sama berbahayanya dengan patogen[2] yang merusak fungsi tubuh manusia, yaitu kelas penguasa. Keduanya sama-sama dapat bertahan hidup dengan berparasit pada inangnya. Tanpa inang, semua parasit pasti akan mati.

Patogen adalah mikro-parasit yang seringkali menghuni tubuh kita, sedangkan kelas penguasa, adalah makro-parasit yang hidup dengan menghisap, mengeksploitasi, atau mengambil sesuatu dari alam semesta yang dikuasainya.[3] Mikro-parasit yang menjadi agen penyebab penyakit ini contohnya adalah bakteri dan virus. Sedangkan makro-parasit adalah para pemilik modal dan elite politik. Pemilik modal hidup dengan mengkomodifikasi alam dan mengambil hasil kerja dari para pekerja; elite politik hidup dengan menggadaikan kekayaan publik untuk kepentingannya. Perbedaannya, mikro-parasit hanya menyerang tubuh individu, sementara makro-parasit menyerang tubuh sosial.

Meskipun bergerak dalam konteks yang berbeda, tetapi parasit ini memiliki tujuan yang sama. Patogen berparasit pada tubuh makhluk hidup dengan menonjolkan kepentingannya, yaitu makan dari tubuh inang. Sementara kelas penguasa berparasit di tubuh sosial untuk mengedepankan kepentingan ekonominya, karena hanya dengan cara itu mereka tetap bisa bertahan dan berkuasa.

Dua Jenis Parasitisme

Sejak pandemi Covid-19 mengemuka, perhatian publik tercurahkan pada wabah penyakit akibat dari virus corona ini. Akan tetapi, ada kenyataan yang disembunyikan oleh media mainstream, tentang jenis parasit yang menyebabkan penyakit lainnya, yaitu dorongan akumulasi dari kelas penguasa. Parasit jenis ini, keberadaannya cenderung lebih baru dibanding keberadaan mikro-parasit. Mikro-parasit telah ada sejak kehadiran manusia, tetapi tidak dengan makro-parasit, mereka baru muncul pasca munculnya masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial.[4]

Semua hewan tergantung dengan makhluk hidup lainnya untuk makan, tidak terkecuali manusia. Dalam perjalanannya, manusia bisa menghindarkan dirinya dimangsa oleh hewan buas seperti singa, macan, serigala, hingga buaya. Melalui kerja kolektif dan kecerdasan, manusia menempati posisi teratas dalam rantai pasokan makanan.[5] Namun hal tersebut tidak lantas membuat posisi manusia menjadi aman, karena mikro-parasit masih tetap menjadi ancaman yang nyata. Selain itu, seiring dengan lahirnya masyarakat berkelas, mereka justru semakin terancam oleh panyakit baru, yaitu makro-parasitisme. Keberadaan masyararakat berkelas, di mana hak kepemilikan pribadi diakui, memungkinkan kelas yang memiliki banyak hal (materi dan kekuasaan) mengambil hasil kerja dari kelas yang marginal. Kondisi inilah yang menghadirkan parasit jenis baru.

Sejak zaman perbudakan, feodalisme, hingga kapitalisme sekarang, jenis parasit baru yang kasatmata ini hidup dari hasil kerja orang lain. Pada era kapitalisme seperti sekarang, masing-masing makro-parasit saling bertarung untuk semakin banyak mendapatkan inang sebagai tempat berparasit, dengan cara itu maka memungkinkannya untuk semakin banyak mengeruk alam dan mengambil hasil tenaga kerja orang lain.[6] Hal itu adalah cara kerja sistem ekonomi kita saat ini, di mana cenderung mengarah ke sentralisasi dan konsentrasi modal, yang artinya menghadirkan monopoli dari segelintir makro-patogen.

Penyakit dan parasitisme memainkan peran yang luas dalam semua kehidupan. Pencarian makan yang dilakukan oleh suatu organisme, dapat menjadikan inangnya terinfeksi atau bahkan menjadi penyakit yang mematikan. Virulensi yang menyebabkan infeksi atau menjadi penyakit muncul ketika patogen berkembang dengan jumlah tertentu dan pada waktu tertentu, hingga akhirnya, keberadaan patogen mengganggu metabolisme di tubuh inang.

Seperti tulisan di awal, cara kerja sistem ini telah membuat mikro-parasit lebih dekat dan semakin mengancam hidup manusia.[7] Pada saat wabah menyebar, seperti pandemi Covid-19, maka makro-parasit terancam kehilangan inangnya. Akan tetapi semua parasit tidak pernah peduli dengan kondisi hidup inang. Mereka akan tetap mengedepankan kepentingannya masing-masing.[8]

Atas pertimbangan tersebut, kita dapat melihat dikedepankannya kepentingan ekonomi dibanding keselamatan warga yang dilakukan oleh kelas penguasa (makro-parasit) dalam menghadapi wabah Covid-19 (mikro-parasit). Makro-parasit, menundukan inang agar tetap dapat diambil nilai lebihnya dengan kombinasi alat kekerasan dalam negara dan pengarahan perilaku melalui hegemoni. Itu mengapa negara demokratis tidak berjalan netral, tetapi juga tidak sepenuhnya berjalan sesuai perintah kelas pemilik modal dan elite politik.[9] Negara adalah institusi yang mendapat legitimasi untuk mengatur tubuh sosial. Institusi ini memiliki “otonomi relatif”, sebuah tempat pertarungan antara parasit dengan imun yang melindungi metabolisme sosial. Ketika imun yang memenangkan pertarungan, maka instrumen ini digunakan dalam kerangka untuk membuat tubuh sosial menjadi sehat. Sebaliknya, jika instrumen ini dikuasai oleh makro-parasit, maka institusi ini didorong untuk memfasilitasi kepentingan keparasitan.

Kegagalan Mekanisme Pasar dan Kelas Penguasa

Pada saat mikro-parasit menyebar menjadi wabah penyakit di tubuh-tubuh individu, makro-parasit tidak dapat benar-benar menyembuhkan manusia yang terjangkit Covid-19. Sistem imun di tubuh sosial telah rusak akibat cara kerja makro-parasit. Hal ini dapat kita lihat dalam empat hal:

Pertama, tidak adanya jaminan kesehatan kepada publik. Sistem yang berjalan saat ini, atas dasar dorongan akumulasi, telah memprivatisasi dan mengkomodifikasi layanan kesehatan.[10] Layanan kesehatan alih-alih menekankan pada upaya untuk menyelamatkan kesehatan manusia, cara kerjanya justru atas pertimbangan untung-rugi. Kondisi itu dimungkinkan, karena layanan kesehatan telah diserahkan ke mekanisme pasar. Jika dirasa menangani pasien Covid-19 membuat orang lain takut berobat ke tempat layanan kesehatannya—dikarenakan takut tertular—, maka pihak pemilik layanan kesehatan cenderung menolak pasien itu. Begitupula jika permintaan pasar kesehatan saat ini bukan pada alat ventilator (alat bantu pernafasan yang dibutuhkan korban Covid-19) dan ruang ICU, maka rumah sakit tidak membeli atau membuat hal itu. Itu mengapa, data di negara Malawi misalnya, hanya memiliki 25 ruang ICU untuk 17 juta populasi di negara tersebut. Hal yang sama terjadi di Papua, di mana 7 dokter spesialis paru-paru, hanya ada 60 alat ventilator, dan dari 200 ruang isolasi yang dimiliki, hanya 2 yang sesuai standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).[11] Akibatnya, kepentingan ekonomi telah merusak layanan kesehatan[12], sehingga terjadi keterbatasan penanganan terhadap korban wabah, minimnya alat medis, hingga tidak adanya dana penelitian untuk menemukan obat dan vaksin dalam mengatasi wabah akibat mikro-parasit ini. Sistem kesehatan seperti ini, tidak akan pernah siap untuk menangani terjadinya wabah.

Kedua, tidak adanya jaminan sosial kepada publik. Pasca krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1970an, terjadi kemerosotan pada kualitas hidup masyarakat di dunia serta meningkatnya ketimpangan ekonomi.[13] Krisis pada periode itu menandai dimulainya neoliberalisme, di mana menempatkan segala urusan publik pada mekanisme pasar, dan negara digunakan sebagai piranti untuk menjaga hal tersebut sekaligus memperluasnya. Dampak dari proses ini adalah dimulainya era pemotongan subsidi kepada masyarakat dan pada sisi yang berbeda diberikannya stimulus serta kemudahan pada dunia bisnis. Di negara-negara Bumi Utara, kebijakan ini tampak begitu jelas, di mana perlindungan sosial semakin dikurangi, baik itu dana hari tua, dana untuk angkatan kerja, untuk pendidikan, untuk kebutuhan pokok, hingga perumahan. Di negara-negara Bumi Selatan seperti Indonesia yang sejak awal jaminan sosial tidak berjalan, penarikan anggaran untuk publik membuat kehidupan kelas pekerja semakin lebih berat. Di tengah pandemi Covid-19, karena ketiadaan jaminan sosial, mereka terpaksa tetap bekerja dan membuatnya semakin rentan untuk terjangkit mikro-parasit, karena bagi mereka “no money, no food” (karena selama ini mengandalkan upah atau pendapatan harian).

Ketiga, semakin hilangnya solidaritas sosial. Sistem yang berbasis mekanisme pasar dalam kerangka dorongan akumulasi, telah menjadikan solidaritas sosial semakin menipis. Paham kapitalisme neoliberal, menempatkan tanggung jawab ekonomi pada individu bukan secara sosial. Dampaknya dapat terlihat ketika pandemi Covid-19 terjadi, tanggung jawab untuk mengatasi wabah ini justru dibebankan kepada individu. Kita dapat melihat kebijakan yang diambil oleh banyak negara pada periode awal menangani pandemi ini, di mana menekankan pada herd immunity (kekebalan tubuh) individu dalam melawan mikro-parasit. Justru, dari pandemi Covid-19 kita ditunjukan, bahwa solidaritas sosial adalah satu-satunya cara untuk menghentikan pandemi ini. Itu mengapa pandangan sempit individualis dan ultra-nasionalis telah gagal total dalam menyelesaikan masalah, tetapi justru memperparahnya.[14] Solidaritas sosial berlangsung antar manusia, antar kelompok, hingga antar negara, saling bahu membahu untuk mengatasi ancaman bagi kehidupan umat manusia ini adalah satu-satu cara menyelesaikan pandemik ini. Negara Kuba contohnya, sebuah negara yang dianggap “miskin” di Kepulauan Karibia dengan sistem ekonomi sosialis, mengerahkan tenaga medisnya untuk membantu dunia, serta mengembangkan obat untuk penyembuhan virus ini.[15]

Keempat, sangat kurangnya keuangan negara yang ditujukan untuk kemaslahatan warga. Hampir di setiap institusi negara yang dikuasai oleh kekuatan makro-parasit, anggaran negara lebih banyak digunakan untuk menunjang kepentingan pasar, kepentingan ideologis kekuasaan, hingga untuk kepentingan militer, dibanding untuk menciptakan keadilan dan memenuhi hak dasar rakyat.[16] Kita dapat melihat dalam struktur anggaran negara Indonesia, di mana anggaran di bidang militer, agama, hingga pemindahan ibukota lebih besar dibanding anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Pada saat pemerintah memerlukan dana untuk menyelesaikan masalah pandemi ini, mereka justru memotong hampir sebagian besar dana untuk pendidikan.

Akibat empat hal yang dilakukan oleh makro-parasit di atas, sistem imun dalam metabolisme di tubuh sosial menjadi terganggu. Gangguan di tubuh sosial, mempengaruhi kondisi hidup di masing-masing tubuh individu. Kondisi ini yang semakin memudahkan patogen untuk berparasit di tubuh setiap individu.

Pelajaran berharga lainnya yang tidak pernah diberitahukan kepada kita tentang wabah Covid-19, bahwa mekanisme “pasar bebas” tidak mampu menyelamatkan kehidupan manusia. Pelajaran lainnya, kita dengan gamblang dipertunjukan tentang ketidakmampuan kelas penguasa atau makro-parasit dalam menangani wabah ini.

Ketidakmampuan itu terjadi dalam tiga lapis, pertama, rapuhnya kebijakan sosial yang saya ibaratkan seperti sistem imun pada metabolisme di tubuh individu. Kerapuhan itu, melemahkan kekebalan sosial sehingga membuat setiap individu rentan terpapar mikro-parasit. Tanpa kekebalan sosial berupa jaminan hidup berkelanjutan, kelas pekerja dipaksa oleh keadaan untuk terus bekerja, sehingga rentan terpapar virus corona; kedua, pengingkaran pandemi Covid-19. Kelas penguasa pada dasarnya mengelola negara dengan doktrin pasar, salah satu ayatnya: “jangan membuat panik”. Kepanikan dalam logika pasar adalah lonceng kematian. Jika konsumen dan produsen “panik”, maka resesi ekonomi terjadi, konsumen ketakutan melakukan transaksi, harga saham anjlok akibat ulah para pemilik modal yang tidak ingin modal mereka terdevaluasi oleh inflasi atau penurunan nilai mata uang dan anjloknya valuasi perusahaan. Atas rasionalitas itu, maka tidak ada pencegahan yang serius agar pandemi ini tidak menyebar. Justru, pemerintahan Jokowi di Indonesia atau Donald Trump di Amerika Serikat menyangkal penyebaran dan bahaya pandemi Covid-19 demi memelihara momentum perumbuhan ekonomi; Ketiga, pada saat dihadapkan dengan begitu masifnya penyebaran Covid-19, kelas penguasa menjadi tidak berdaya untuk menyelamatkan warga. Beberapa penguasa justru membebankan wabah ini ke masing-masing herd immunity (kekebalan tubuh) individu. Sementara yang lain mengeluarkan stimulus ekonomi sembari berharap-harap cemas agar wabah ini segera berlalu.

Ketidakmampuan kelas penguasa ini menunjukan bahwa hukum pasar bebas bertentangan dengan hukum kemanusiaan. Logika untung-rugi tidak hanya berseberangan, tetapi sangat berlawanan dengan kepedulian terhadap lingkungan dan kemanusiaan.[17]

Mikro-parasit Membunuh Manusia, Makro-parasit Menghancurkan Alam Semesta

Sejarah tentang parasit memberitahu kita, bahwa semua parasit pasti merugikan dan bersifat merusak. Parasit tidak pernah memberikan keuntungan atau kerbermanfaatan bagi inang. Pandemik Covid-19 secara jelas menunjukan tentang bahaya mikro-parasit yang dapat merusak fungsi organ tubuh manusia, hingga membuat fungsi metabolisme lainnya terganggu dan berujung kematian.

Namun, masih banyak orang yang tidak sadar atau tidak memahami keberadaan dari makro-parasit. Eksistensi makro-parasit ini yang membuat pandemik Covid-19 menjadi semakin berbahaya. Makro-parasit telah meningkatkan kerentanan pada tubuh individu dan tubuh sosial, dengan cara menghilangkan sistem kekebalan sosial. Kita juga dijejali sebuah rasionalitas, bahwa masalah pandemik Covid-19 ini dapat diatasi secara individual, bukan secara sosial. Kita dihimbau hingga dipaksa untuk rajin cuci tangan, menjaga jarak, jika bepergian memakai masker, dan menjaga kesehatan dibanding mereka harus merombak struktur anggaran dan kebijakan untuk menguatkan imun kekebalan sosial.

Mikro-parasit dapat membunuh manusia, sementara makro-parasit tidak hanya dapat membunuh manusia, tetapi juga mengarah pada penghancuran alam semesta. Saat ini, berbagai obat telah mulai ditemukan untuk menyembuhkan penyakit akibat mikro-parasit, tetapi tidak dengan penyakit akibat makro-parasit. Pandemik ini tidak akan memberi perubahan apa-apa ketika kita masih membiarkan makro-parasit terus mengatur hidup kita. Jika kita ingin menghentikan penyakit di tubuh sosial ini, maka kita harus menyingkirkan makro-parasit yang selama ini hidup dengan menghisap kerja kita dan merampok alam semesta.

*** *** ***

Dalam menyikapi wabah yang mengancam kepunahan manusia, saya akan menyajikan sembilan tulisan berseri dengan tema utama “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme: Permasalahan dan Perjuangan ke Depan”. Dalam tulisan berseri ini akan menunjukan akar permasalahan kemunculan berbagai wabah penyakit yang mengancam kehidupan manusia dan keberlangsungan alam semesta. Selain itu, juga menawarkan agenda perjuangan ke depan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Tulisan berseri ini akan diterbitkan secara berkala, sehingga jangan lupa subscribe/berlangganan secara gratis website bukuprogresif.com melalui form di bawah. Adapun tema dari tulisan berseri ini adalah sebagai berikut:

  1. PENGANTAR: Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme
  2. Dorongan Akumulasi telah Menghasilkan Kekayaan untuk Segelintir Orang, Wabah Penyakit bagi Banyak Orang
  3. Parasit dalam Pagebluk Covid-19: Ideologi Pertumbuhan Ekonomi Menghilangkan Kekebalan Tubuh Sosial
  4. Sejarah Pagebluk terus Berulang: Pertama sebagai Tragedi, Berikutnya sebagai Lelucon
  5. Covid-19 bukan Penyebab Krisis Ekonomi, Covid-19 hanya Penyulut
  6. Kedermawanan bukanlah Solusi, Tak Akan Bisa Menyembuhkan “Penyakit” di Masyarakat Kita
  7. Tidak Kerja, Tidak Makan, Bekerja dihantui Wabah Kematian: Kondisi Kelas Pekerja di Tengah Pagebluk Covid-19
  8. Neoliberalisasi Menguras Dana Publik, Menjauhkan dari Upaya Perlindungan bagi Kelas Pekerja
  9. Menghentikan Pagebluk, Menghentikan Kapitalisme: Proyek Politik ke Depan

[1] Parasit adalah organisme (yang kasatmata) atau mikroorganisme (yang tidak terlihat) yang hidup pada makhluk hidup yang lain (inang). Parasit hidup dengan memanfaatkan dan mengorbankan inang. Parasit ini tidak memberi imbalan apapun, apalagi memberi keuntungan pada inang. Salah satu jenis parasit adalah patogen yaitu mikroorganisme yang menjadi agen penyakit dan non-patogen, yaitu parasit yang memanfaatkan dan mengorbankan inang, tetapi tidak sampai membuat inang menjadi sakit.

[2] Patogen adalah agen penyebab terjadinya infeksi atau penyakit. Mereka menyebabkan penyakit pada inang mereka dengan cara berparasit pada tubuh inang. Patogen adalah salah satu jenis parasit yang terdiri dari virus, bakteri, dan jamur.

[3] Lihat pembahasan dari William H. McNeill, Plagues and Peoples (New York: Anchor, 1976).

[4] William H. McNeill, Plagues and Peoples (New York: Anchor, 1976); Karl Marx, Grundrisse (London: Penguin, 1973).

[5] Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State (London: Penguin, 2010).

[6] Pembahasan tentang cara kerja kapitalisme untuk saling bertarung memperebutkan alam dan tenaga kerja dapat dilihat dalam John Bellamy Foster, Marx’s Ecology (New York: Monthly Review Press, 2000).

[7] Lihat Arif Novianto, “Pagebluk Covid-19 sebagai Bencana Kapitalisme: Permasalahan dan Perjuangan ke Depan”, bukuprogresif.com (2020).

[8] Walaupun McNeill menjelaskan bahwa ada mikroorganisme yang hidup di tubuh manusia tetapi pada taraf tertentu tidak memberikan kerugian pada manusia. Namun, masih terjadi perdebatan apakah mikroorganisme di tubuh manusia yang tidak menciptakan inveksi atau penyakit itu adalah parasit atau tidak. Menurut saya, mikroorganisme, patogen, atau virus disebut sebagai parasit ketika mereka telah menginfeksi atau menjadi penyakit bagi inangnya. Selengkapnya lihat William H. McNeill, Plagues and Peoples (New York: Anchor, 1976).

[9] Michael A. McCarthy, “Seven Theses on the Capitalist Democratic State”, Verso Books (30 April 2019).

[10] Adam Gaffney, “America’s Extreme Neoliberal Healthcare System is Putting The Country at Risk”, The Guardian (21 Maret 2020).

[11] Lihat di Tirto, “Betapa Tidak Siap Papua Hadapi Corona Covid-19” (27 Maret 2020).

[12] Howard Waitzkin, ed., Health Care Under the Knife: Moving Beyond Capitalism for Our Health (New York: Monthly Review Press, 2018).

[13] Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, (Cambridge: Belknap Press, 2017).

[14] Slavoj Zizek, “Pandemic: Covid-19 Shakes World” (New York: OR Book, 2020).

[15] Lihat di MR Online, “Cuba Sends Doctors, Nurses Worldwide in COVID-19 Fight” (30 Maret 2020).

[16] David Harvey, “Anti-Capitalist Politics in the Time of COVID-19”, sumber: https://davidharvey.org/2020/03/anti-capitalist-politics-in-the-time-of-covid-19/

[17] Arif Novianto, “Kapitalisme Bertentangan dengan Kepedulian Lingkungan”, sumber: https://bukuprogresif.com/2020/02/01/kapitalisme-bertentangan-dengan-kepedulian-lingkungan/

_______________
Arif Novianto
Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Editor di Penerbit Independen (PIN).
Penulis dapat dihubungi di akun twitternya: @arifnovianto_id atau Instagram: @arifnovianto_id dan jika ada pertanyaan atau diskusi, silahkan kontak email: arif.novianto@mail.ugm.ac.id

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang masuk di spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?